Kecerdasan Buatan (AI) membantu manusia menulis email, menyarankan film, menganalisis data, dan mendukung diagnosis penyakit…
Namun, seiring AI menjadi semakin cerdas, rasa tidak aman yang ditimbulkannya juga semakin meningkat. Sebagian karena kita belum sepenuhnya memahami teknologi yang kita gunakan. Bagian lainnya berasal dari naluri psikologis manusia.
Ketika AI menjadi “kotak hitam” dan pengguna kehilangan kendali
Manusia cenderung percaya pada apa yang mereka pahami dan kendalikan. Ketika tombol ditekan, lift bergerak. Ketika sakelar dihidupkan, lampu menyala. Reaksi yang jelas menciptakan rasa aman.
Sebaliknya, banyak sistem AI beroperasi seperti kotak tertutup. Anda memasukkan data, tetapi cara data itu menghasilkan hasil tersembunyi. Ini membuat pengguna tidak dapat memahami, juga tidak dapat mempertanyakan.
Perasaan ketidakjelasan itu menimbulkan kekhawatiran. Pengguna tidak hanya membutuhkan alat yang efektif, tetapi juga perlu tahu mengapa alat itu bekerja seperti itu.
Jika AI tidak dapat memberikan penjelasan, orang mulai meragukan. Ini mengarah pada konsep yang disebut “kebencian terhadap algoritma”, yang digambarkan oleh peneliti perilaku sebagai fenomena di mana manusia sering memilih keputusan orang lain, bahkan jika salah, daripada mempercayai penilaian mesin.
Tidak sedikit orang yang enggan ketika AI menjadi terlalu akurat. Alat rekomendasi konten bisa membuat pengguna merasa tidak nyaman jika terlalu “membaca” mereka. Perasaan diawasi atau dimanipulasi mulai muncul, meskipun sistem itu sendiri tidak memiliki emosi atau tujuan.
Reaksi ini berasal dari perilaku naluriah: personifikasi. Meskipun tahu AI bukan manusia, kita tetap bereaksi padanya seolah-olah berkomunikasi dengan individu. Ketika AI berperilaku terlalu sopan atau terlalu dingin, pengguna merasa aneh, kurang percaya.
Manusia mudah memaafkan manusia, tetapi tidak mudah memaafkan mesin
Paradoks yang menarik adalah ketika manusia membuat kesalahan, kita bisa berempati dan menerimanya. Tetapi jika kesalahan datang dari AI, terutama ketika diiklankan sebagai objektif dan berdasarkan data, pengguna sering merasa dikhianati.
Ini terkait dengan fenomena pelanggaran ekspektasi. Kita mengharapkan mesin akan logis, akurat, dan tidak membuat kesalahan. Ketika kepercayaan itu dilanggar, respons psikologis seringkali lebih intens. Kesalahan kecil dalam algoritma bahkan dapat dianggap serius jika pengguna merasa kehilangan kendali atau tidak diberi penjelasan.
Secara naluriah, kita perlu memahami penyebab kesalahan. Dengan manusia, kita bisa bertanya mengapa. Dengan AI, jawabannya seringkali tidak ada atau terlalu kabur.
Ketika guru, penulis, pengacara, atau desainer melihat AI dapat melakukan sebagian pekerjaan mereka, mereka tidak hanya takut kehilangan pekerjaan tetapi juga khawatir tentang nilai keterampilan dan identitas pribadi mereka.
Ini adalah respons alami, disebut ancaman identitas. Perasaan itu dapat menyebabkan penolakan, perlawanan, atau pertahanan psikologis. Dalam kasus-kasus ini, kecurigaan bukan lagi respons emosional, melainkan mekanisme perlindungan diri.
Kepercayaan tidak hanya datang dari logika
Manusia percaya melalui emosi, isyarat, tatapan mata, dan empati. AI mungkin merespons dengan lancar, bahkan lucu, tetapi ia tidak tahu cara menciptakan koneksi yang tulus.
Fenomena “lembah aneh” (uncanny valley) digambarkan oleh para ahli sebagai perasaan tidak nyaman ketika menghadapi hal-hal yang hampir mirip manusia, tetapi kehilangan sesuatu yang membuatnya tidak nyata.
Dengan AI, itu terletak pada ketiadaan emosi. Ini membuat banyak orang merasa bingung apakah harus percaya atau curiga.
Dalam dunia yang dipenuhi informasi palsu, video palsu, dan keputusan yang dibuat oleh algoritma, perasaan diabaikan secara emosional membuat manusia lebih waspada terhadap teknologi. Bukan karena AI melakukan kesalahan, tetapi karena kita tidak tahu bagaimana merasakan tentangnya.
Tidak hanya itu, kecurigaan terkadang bukan hanya perasaan. Algoritma pernah menciptakan bias dalam perekrutan, penilaian kejahatan, dan persetujuan kredit. Bagi mereka yang pernah dirugikan oleh sistem data yang tidak transparan, kewaspadaan sepenuhnya masuk akal.
Psikologi menyebut ini sebagai kecurigaan yang terbentuk dari pengalaman. Ketika suatu sistem terus-menerus mengecewakan, hilangnya kepercayaan adalah hal yang wajar. Orang tidak akan percaya hanya karena disuruh percaya. Kepercayaan perlu dibangun, tidak bisa dipaksakan.
Jika ingin AI diterima secara luas, para pengembang perlu menciptakan sistem yang dapat dipahami, dipertanyakan, dan dipertanggungjawabkan. Pengguna perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, alih-alih hanya menjadi pengamat. Kepercayaan hanya akan benar-benar berkelanjutan ketika orang merasa dihormati dan memiliki otonomi.



