Perceraian pasangan Tiongkok, Shao dan Ji, yang berpusat pada masalah nama anak-anak, telah menarik perhatian besar di media sosial dan memicu perdebatan yang hangat. Masalah ini mencerminkan perubahan penting dalam pandangan tentang peran perempuan dan hak-hak mereka dalam keluarga modern di Tiongkok.
Perselisihan dalam Keluarga Shao-Ji
Pada tahun 2018, pasangan Shao dan Ji menikah dan dikaruniai seorang putri. Setahun kemudian, mereka dikaruniai seorang putra. Namun, perbedaan pendapat tentang penamaan anak-anak antara pasangan suami istri muncul, yang mengakibatkan perselisihan yang sengit. Bapak Shao terus meminta perubahan nama anak laki-laki menjadi nama Shao, tetapi Ibu Ji bersikeras agar anak laki-laki tersebut tetap menggunakan nama Ji.
Perbedaan pendapat ini membawa hubungan mereka ke ambang perceraian, dan akhirnya, pada tahun 2023, mereka memutuskan untuk bercerai. Kedua anak tinggal bersama ibu sejak saat itu.
Perselisihan di Pengadilan
Bapak Shao menuntut hak asuh anak perempuan dan menolak tanggung jawab membesarkan anak laki-laki, sementara Ibu Ji menegaskan ingin mengasuh kedua anak tersebut. Karena tidak menemukan kesepakatan, Bapak Shao mengajukan gugatan ke pengadilan.
Di pengadilan, hakim memutuskan bahwa Ibu Ji berhak atas hak asuh penuh atas kedua anak tersebut. Keputusan ini diambil berdasarkan “kepentingan terbaik anak” dan kenyataan bahwa Ibu Ji adalah pengasuh utama kedua anak selama bertahun-tahun.
Ibu Tidak Mengizinkan Anak Laki-laki Menggunakan Nama Bapak, Bapak Menuntut Cerai, Putusan Pengadilan Mengejutkan – 1
Keputusan pengadilan menimbulkan perdebatan yang hangat di media sosial.
Pendapat di Media Sosial
Banyak pengguna media sosial menyatakan dukungan terhadap putusan pengadilan, dengan alasan bahwa Bapak Shao tidak seharusnya memperdebatkan masalah ini. Mereka menekankan bahwa nama anak tidak menjadi faktor terpenting, melainkan hubungan harmonis antara pasangan suami istri yang penting.
Beberapa orang berpendapat bahwa Bapak Shao harus bersyukur karena salah satu anaknya tetap menggunakan namanya.
Pendapat-pendapat ini mencerminkan tren kaum muda Tiongkok, terutama perempuan, yang ingin menentang tradisi anak-anak harus menggunakan nama bapak. Mereka menekankan pengorbanan yang dialami perempuan dalam proses kehamilan, persalinan, pengasuhan anak, dan tanggung jawab rumah tangga.
Tren dalam Keluarga Modern
Tren ini sangat terlihat di keluarga di daerah Dataran Sungai Yangtze, di mana perekonomian berkembang pesat. Banyak keluarga yang hanya memiliki anak perempuan telah memilih untuk menolak tradisi anak perempuan harus menikah dengan keluarga suami. Generasi baru ini memilih model “pernikahan dua sisi”, di mana penentuan nama anak berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak, terkadang anak perempuan mempertahankan namanya sendiri, dan ayah dapat tetap memiliki satu anak dengan namanya sendiri.
Ini adalah bukti nyata dari perubahan dalam persepsi tentang peran perempuan dan hak-hak mereka dalam keluarga modern.
Kesimpulan
Peristiwa ini menunjukkan perubahan mendasar dalam cara memandang nama, hak asuh anak, dan peran perempuan dalam keluarga modern Tiongkok. Keputusan pengadilan yang didasarkan pada “kepentingan terbaik anak” merupakan langkah maju, yang menunjukkan kepedulian terhadap hak-anak.